
Kapata Nataka Sutradhari
Kapata Nataka Sutradhari dimulai dengan latar desa Raybag, tempat sebuah kuil kuno berusia ribuan tahun dibuka hanya dua hari dalam setahun. Tokoh utama, Manoj — seorang guru matematika yang pendiam dan biasa saja — mengambil cuti dari tugas mengajar untuk mengikuti ritual spiritual, berharap menemukan berkah, sekaligus mencari calon pasangannya. Dia ditemani seorang rekan guru, yang kemudian ikut serta dalam ritual merayap di bawah patung gajah suci yang konon dapat mengabulkan harapan. Namun, hal ini segera berubah menjadi titik awal konflik ketika rekan guru tersebut terjebak di bawah patung karena postur tubuhnya yang gemuk.
Kondisi memanas saat identitas korban terungkap: dialah Mohammed Ismail, beragama Muslim. Rencana menyelamatkannya—seperti melepas kaki patung demi melepaskannya—dibatalkan oleh sebagian pihak yang menilai tradisi lebih penting daripada keselamatan manusia. Konflik ini menarik berbagai pihak: politisi, aparat kepolisian, media, dan influencer—masing-masing berebut mengambil kesempatan untuk keuntungan pribadi atau jaga citra. Ismail, yang hanya ingin diselamatkan, justru terjebak dalam pusaran ego sosial dan politik.
Director Dhiraj MV membumbui konflik dengan satir tajam—mempertontonkan bagaimana rezim media mengejar TRP dengan mendramatisasi penderitaan Ismail (“Is this for your channel or my life?”) serta bagaimana politikus dan aparat kepolisian lebih mengutamakan citra dan prosedur ketimbang kemanusiaan. Film ini berusaha mengeksplorasi realitas pahit di mana simbol kepercayaan bisa lebih dijaga daripada nyawa manusia. Semua ini terjadi tanpa adegan kekerasan atau romantisme berlebihan—hanya kebenaran yang dipertegas melalui sindiran dan kecerdasan naratif yang mengena.
Akhir cerita membuka lebih banyak pertanyaan ketimbang jawaban pasti. Konflik moral antara mempertahankan patung suci atau menyelamatkan manusia—yang telah menjadi simbol kuat di film ini—menjadi cerminan ketidaksediaan masyarakat akan kompromi kemanusiaan. Film diakhiri dengan nuansa ambigu, tidak memberikan resolusi dramatis, melainkan menantang penonton untuk merenungkan: Mana yang lebih utama—iman atau keselamatan? “Kapata Nataka Sutradhari menolak klise, tanpa adegan laga atau romantisme—yang hadir adalah kebenaran, kelucuan, dan urgensi,” tulis salah satu ulasan kritis.
0 Comments