Best Wishes to All

Best Wishes to All Seorang mahasiswi keperawatan dari Tokyo melakukan kunjungan ke rumah kakek‑neneknya di pedesaan, untuk memberi waktu sejenak meninggalkan kehidupan kota dan berkumpul kembali dengan keluarga. Paruh pertama film memperlihatkan suasana hangat nan penuh nostalgia: sawah, udara segar, dan sambutan ramah dari kakek‑neneknya. Namun di balik keramahan itu, mulai terlihat tingkah laku yang aneh—senyuman yang terlalu panjang, pertanyaan‑simpel tentang kebahagiaan, suara‑suara ganjil di malam hari, dan pintu terkunci yang memancing rasa penasaran.

Kemudian protagonis mulai menyadari bahwa kejadian‑kejadian itu bukan sekadar keanehan lansia yang mulai terganggu usia. Ia menemukan bahwa kakek dan neneknya menyembunyikan sesuatu di kamar di lantai atas—seorang pria tak dikenal yang dikurung dan disiksa. Sikap keluarganya dan penduduk desa yang tampak santai serta acuh terhadap kondisi pria itu memperkuat rasa takut dan ketidakpastian yang dirasakan sang mahasiswi.

Seiring film berjalan, ungkapan‑ungkapan yang semula terdengar seperti basa‑basi atau pertanyaan sopan berubah menjadi pertanyaan moral yang berat: “Apakah kamu bahagia?” muncul berulang‑ulang, bukan hanya sebagai bentuk kehangatan keluarga, tapi sebagai ujian. Kebahagiaan keluarga besar itu ternyata bergantung pada penderitaan orang lain. Rasa bersalah dan dilema batin muncul ketika protagonis menyadari bahwa “kesenangan” dan “kedamaian” di desa itu tidak gratis—ia dibangun di atas korban yang disembunyikan.

Di klimaks, protagonis harus menghadapi pilihan keras: menerima dan hidup dengan kenyataan bahwa keluarganya dan lingkungan desanya menikmati kebahagiaan yang tak sepenuhnya “adil” atau mencoba menolak sistem yang mempertahankan kesejahteraan mereka dengan harga penderitaan orang lain. Film ini akhirnya tidak hanya jadi kisah horor psikologis, tetapi juga kritik sosial—tentang generasi tua yang mempertahankan tradisi atau struktur sosial yang mengabaikan penderitaan, dan tentang para muda yang mewarisi beban moral itu. Best Wishes to All menyisakan pertanyaan etis bagi penonton: seberapa jauh kita rela untuk bahagia jika kebahagiaan itu membuat orang lain sengsara?

0 Comments

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published. Required fields are marked *