Anemone

Anemone (2025) Di sebuah wilayah terpencil di Inggris Utara yang dibalut kabut dan kehijauan pepohonan, kita diperkenalkan pada Jem Stoker (Sean Bean) — seorang pria berkeluarga yang tiba-tiba meninggalkan kehidupan suburbannya dan melakukan perjalanan ke hutan untuk menemui adik lelakinya yang terasing, Ray Stoker (Daniel Day‑Lewis). Ray dulunya seorang prajurit yang kini memilih mengasingkan diri, hidup jauh dari keluarganya dan dibayangi oleh trauma masa lalu. Jem datang dengan niat mulia: membawa Ray kembali ke keluarga dan kehidupan yang pernah mereka tinggalkan bersama.

Ketegangan mulai membangun ketika Ray menunjukkan bahwa ia tidak mudah dipercaya. Ia menyimpan luka emosional yang dalam—mengenai perang, pengkhianatan, kesalahan, serta harapan yang hancur—dan rasa tanggung-jawab yang terpendam terhadap adik serta keponakannya, Brian Stoker (Samuel Bottomley), yang kini tengah menghadapi intimidasi dan rumor dalam lingkungannya. Kedatangan Jem memaksa Ray menghadapi bayang-bayang masa lalunya, sekaligus mempertanyakan apakah dia masih punya tempat di antara orang-orang yang pernah ia tinggalkan.

Seiring waktu, film ini membuka luka-luka lama: hubungan antar-saudara yang rapuh, perjuangan seorang ayah dalam memperbaiki hubungan dengan anaknya, dan keretakan yang ditinggalkan oleh kekerasan dan trauma. Ray dan Jem bergerak dalam ruang yang sunyi dan penuh simbol—hutan, pantai yang terpencil, langit gelap—sebagai metafora atas kekosongan dan kerinduan. Visual dan suara dalam film ini mendukung suasana berat dan introspektif, menangkap bagaimana masa lalu terus menghantui meski fisik telah jauh.

Di klimaksnya, Ray harus memilih: tetap di tempat persembunyiannya atau kembali ke kehidupan yang ia tinggalkan untuk menghadapi masa lalu dan keluarganya. Jem pun harus menerima kenyataan bahwa membawa Ray pulang bukan sekadar fisik, tetapi juga emosional—membuka luka, mengakui kesalahan, dan memberi kesempatan untuk penyembuhan. Film ini berakhir dengan nada yang tidak sepenuhnya terang-benderang, namun memberikan ruang bagi harapan—bahwa memperbaiki hubungan bukanlah hal yang instan, tetapi proses yang penuh keberanian.

0 Comments

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published. Required fields are marked *