A House of Dynamite
A House of Dynamite (2025) Pagi yang tampak biasa-biasa saja di lingkungan militer dan pemerintahan AS berubah total ketika radar mendeteksi sebuah rudal balistik antarbenua tak dikenal menuju ke daratan Amerika Serikat. Tidak ada klaim tanggung jawab, hanya keheningan yang menganga — dan satu pertanyaan: siapa yang melakukan peluncuran, dan apa motifnya? Dalam hitungan menit, seluruh sistem pertahanan dan pusat pengambilan keputusan nasional terdesak untuk merespons.
Dari pangkalan rudal di Alaska hingga ruang sidang di Gedung Putih, film ini membawa penonton ke berbagai level — petugas di lapangan, analis intelijen, staf militer, hingga Presiden AS (diperankan oleh Idris Elba) — yang semuanya bergerak dengan cepat namun dalam kondisi informasi sangat terbatas. Keputusan-keputusan yang diambil sering berdasarkan asumsi, data yang belum diverifikasi, dan tekanan waktu yang kian mendesak — menciptakan atmosfera kecemasan yang terus meningkat.
Walaupun narasi film berdasar pada skenario “apa jika” (what-if) — yaitu satu rudal yang diluncurkan tanpa pemberitahuan dan sistem pertahanan yang langsung diuji — film juga menyentuh soal tema besar: ancaman senjata nuklir, deteksi dini yang gagal, dan dilema moral mempertahankan bangsa dengan alat penghancur massal. Perspektif karakter-karakternya membumi: bukan hanya pejabat tinggi yang menghadapi krisis, tapi juga petugas-petugas yang jatuh dalam kebingungan ketika prosedur kaku bertabrakan dengan kenyataan ekstrem.
Pada akhirnya, A House of Dynamite tidak menawarkan jawaban penuh atau klimaks tradisional yang dirancang untuk menyelesaikan semua konflik. Film ini memilih meninggalkan banyak hal terbuka — seperti apakah rudal benar-benar menghantam atau bagaimana tanggapan final Presiden akan dijalankan — sehingga menimbulkan ruang refleksi bagi penonton tentang keadaan dunia saat ini. Di tengah gemuruh ancaman nuklir dan rantai keputusan yang cepat, film ini mengingatkan kita bahwa sistem pertahanan paling canggih pun dapat terdorong ke ujung batasnya, dan bahwa rumah kita — dunia kita — kadang memang terasa seperti “sebuah rumah penuh bahan peledak”.

0 Comments