Tinā

Tinā dibuka dengan kedukaan mendalam dari Mareta—seorang guru pengganti keturunan Samoa yang digambarkan dengan kuat oleh Anapela Polataivao—setelah kehilangan putrinya dalam gempa dahsyat Christchurch pada tahun 2011. Trauma tersebut membayangi hidupnya selama bertahun-tahun, menandai bab gelap spiritual dan emosional yang terus menghantuinya.

Tiga tahun setelah tragedi itu, Mareta bergabung sebagai guru pengganti di sebuah sekolah elit di Christchurch—sekolah mayoritas muridnya adalah keturunan Eropa dengan latar sosial yang jauh berbeda. Perbedaan budaya dan status jelas terasa, dan sebagai satu-satunya guru Pasifika, Mareta membawa perspektif hangat sekaligus ketegasan yang segar ke lingkungan yang kaku.

Mareta memutuskan memulai paduan suara sekolah, tantangan yang membuatnya semakin terlihat sebagai tenaga pengajar yang tidak biasa. Ia berhadapan dengan hambatan dari pihak administrasi—khususnya wakil kepala sekolah—serta ketidakpercayaan internal murid-murid yang tampak manja maupun bermasalah. Namun melalui musik dan semangat kolaborasi, ia mempererat hubungan antara anak-anak dan menumbuhkan dukungan batin layaknya sebuah keluarga.

Meskipun menggunakan narasi yang menurut sebagian kritikus terasa familiar—seorang figur outsider datang menyatukan sekumpulan murid—Tinā berhasil menyentuh banyak hati lewat kehangatan, humor, dan emosi yang tulus. Penampilan Anapela Polataivao mendapat pujian luas, dan kehadiran musik—terutama paduan suara—menguatkan elemen penyembuhan dan harapan. Film ini turut meraih kesuksesan komersial signifikan di Selandia Baru dan menyandang gelar sebagai salah satu film paling sukses di negara itu hingga pertengahan 2025.

0 Comments

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published. Required fields are marked *